Tulisan kali ini saya dedikasikan untuk seorang inspirator dalam hidup saya selain bapak dan ibu saya. Orang ini menginspirasi saya bukan tentang bagaimana untuk bertahan hidup dan sukses, namun menginspirasi saya untuk optimis dan bersikap politis. Kepada bapak yang saya tulis namanya dengan sebagian cinta saya, segerakan melunasi janji kemerdekaan! "Saya tidak mau bilang 'I love you full', saya bilang 'I love you almost full'. Karena saya mau memberikan ruang untuk cinta agar tumbuh."
Lima tahun sudah saya mengidolakan beliau yang namanya disanjung para pemuda dan digaungkan oleh mereka yang sudah berusia. Anies Rasyid Baswedan, akhirnya saya bisa bercengkrama dan berjabat tangan denganmu, pak. Lima tahun menunggu kesempatan emas ini tak sebentar. Kenapa lima tahun? Izinkan saya sedikit flash back kemasa dimana saya pertama kali kagum dengan beliau. Saat itu tahun 2009, masih sempurna diingatan saya tentang Anies Baswedan yang menjadi moderator di acara debat CaPres 2009 itu. Kagum saya tidak dimulai setelahnya, namun sesaat acara CaPres itu dimulai. Kilasan biografi Anies Baswedan saat itu sungguh menggugah batasan skeptisme saya tentang orang Indonesia yang 'biasa saja'. Menjadi Rektor termuda, terdengar asing di telinga saya. Pada umur yang muda dan secara fisik saya melihatnya tampan, gagah, tinggi dan tegap, menjadikan ini hal awal kekaguman saya pada beliau. Membandingkan dengan kepala sekolah SD sampai SMA saya saja, selisih umurnya jauh. Ini Rektor, bung!. Hal kemudian mengenai keberadaannya menjadi 100 intelektual publik dunia versi majalah Foreign Policy. Saya tak perduli dengan majalah yang saya baru dengar saat itu, apalagi berita yang berkata beliau bersanding dengan tokoh dunia semacam Noam Chomsky, Amartya Sen dan Al Gore; tak kenal saya dengan mereka, meski kemudian saat kuliah saya tahu siapa mereka dan betapa hebatnya orang yang disandingkan dengan mereka. Tetapi mendengan berita menjadi '100 intelektual dunia' itu rasanya luar biasa, ini orang Indonesia?
Saat itu saya masih kelas 2 SMA, tentu masih anti-pati pada proses politik dan sebagainya. Beranjak ke kelas 3 SMA, mulai banyak informasi yang saya dapat mengenai Anies Baswedan. Ini terjadi hanya karena beliau menjadi moderator CaPres kemudian saya 'menghamba' padanya. Diujung perjalanan sekolah, saya harus menentukan arah ke mana saya melangkah berikutnya. Dilandasi hanya karena ingin bertemu sosok Anies Baswedan (dan tentunya beasiswa penuh), saya mencoba 'melamar' di Universitas Paramadina jurusan Hubungan Internasional melalui Paramadina Fellowship. Saya ingat betul saat itu saya menulis sekitar ratusan atau ribuan kata tentang 'Mahasiswa sebagai Agen Perubahan'. Saya tulis itu dengan tangan kemudian mengirimkannya. Alhasil, Alhamdulillah saya gagal masuk. Harus disyukuri, karena bukan jalan saya disana. Bila saya diterima disana, mungkin saya tak merasakan indahnya Yogyakarta.
Menjajaki dunia kuliah, masa inilah yang mendekatkan saya pada sosok Anies Baswedan melalui media dan google. Semakin banyak berita tentangnya, semakin ingin saya bertemu dengannya. Sempat saya mengikuti satu organisasi kampus yang iklannya menjanjikan mendatangkan Anies Baswedan, setelah diterima, ternyata pak Anies hanya memberi recorded speech. Kecewa? Jelas. Saat itu (tahun 2012) santer berita mengenai pemilu 2014, mengenai Aburizal Bakrie, Megawati, Wiranto dan golongan senja lainnya. Terbesit pemikiran tentang Indonesia 2015, 2016, 2019... Bagaimana rupa negara ini dibawah kepemimpinan satu dari aktor yang namanya tak indah di taruh di buku-buku sejarah? Tidak ada yang membicarakan capres selain mereka anggota golongan senja. Sampai suatu saat Mata Najwa mengundang Anies Baswedan dan Mahfud MD dengan tema Kuda Hitam. Ada harapan karena mereka terlihat integritasnya, namu ada kekecawaan karena saat itu mereka urung untuk maju di 2014.
Melbourne, September 2013. Menjadi awal perjalanan serius politik saya. Disana saya mendaftarkan menjadi seorang relawan yang saya yakin jumlahnya masih ratusan. Mendaftarkan diri dengan domisili di Balikpapan, harapannya, sekembalinya saya dari program ini saya memiliki liburan yang lama di kota kelahiran saya dan bisa melakukankegiatan ini di sana. Namanya Turun Tangan, akar katanya: Urun Angan. Kami menambahkan 'T' sebagai negasinya. Di website itu pak Anies mengajak saya untuk ikut menuntaskan masalah negri ini. Jujur saja, saya dulunya tak tahu apa itu Turun Tangan. Yang saya lakukan murni mendukung beliau dan mengikuti jejak langkah kebaikan beliau untuk Indonesia melalui registrasi di situs relawan itu. Namun kebelakang, saya sadar bahwa mendukung beliau saja tak cukup, harus ada perbuatan baik yang bersifat masif untuk merubah wajah Indonesia hari ini. Karena masalah sebesar Indonesia, tak bisa hanya diselesaikan oleh satu pemimpin.
Balikpapan, Januari 2014. Petualangan saya untuk Turun Tangan dimulai dikota kelahiran saya ini. Mengumpulkan relawan di Balikpapan itu sulit, sangat sulit. Dugaan saya adalah pola fikir masyarakat disana bukanlah politis, melainkan realistis berbasis kapitalisme. Sederhananya, orang lebih memilih untuk berfikir bagaimana bekerja dengan baik daripada harus berfikir tentang siapa presiden saya nanti. Ini terjadi karena Balikpapan memang menjadi sentra kegiatan ekonomi di Kalimantan Timur, bahkan di pulau Kalimantan. Menakjubkan bukan kota saya, bukan hanya sekedar hutan seperti apa yang orang luar terka selama ini.
Balikpapan, Februari 2014. Singkat cerita, kami di Balikpapan berhasil bertemu untuk pertama kalinya. Takjub, karena ramai sekali. Kurang dari 20 relawan hadir, sedikit? Bagi saya itu mengagetkan, karena memang yang saya fikirkan untuk datang tak sebanyak itu. Terima kasih kawan relawan. Belum ada obrolan mengenai kegiatan, yang ada hanya optimisme dari kawan-kawan mengenai Turun Tangan dan perdebatan apakah ini organisasi sosial atau politik. Sampai akhirnya, seorang relawan bercerita tentang sejarah Turun Tangan ini. Kala itu hanya saya yang bersikap pesimis tentang pemenangan pak Anies. Kenapa? Sederhana, tetapi tak layak saya ceritakan. Namun kebelakang, justru sikap itu berubah. Bahwa gerbang pemenangan itu nyata adanya! Entah itu pertemuan kedua atau ketiga kami, pada bulan Februari pertengahan itu kami berkumpul untuk membahas tentang konvensi yang akan mampir ke Balikpapan. Saya pribadi, ada rasa bangga dan bahagia namun ada juga rasa pesimis mengenai bagaimana memanggil relawan gratisan ini untuk hadir di Konvensi.
Balikpapan, 21 Februari 2014. Malam itu ada acara temu relawan, yang saya fikir tidak akan ramai. Untung bila mencapai 70an orang. Masya Alloh, saya salah. Saya bisa yakinkan, yang hadir lebih dari 100 orang. Karena jatah makanan untuk 100 orang ternyata kurang, itulah tolak ukur saya :D. Belasan surel yang saya sebar ke seluruh relawan bekerja sempurna pada malam itu, hanya malam itu dan besoknya. Dari malam itu saya merubah pesimisme saya menjadi optimisme. Bahwa kemenangan itu nyata dan pesimisme itu kutukan pada diri sendiri. Terlalu banyak semangat yang hadir malam itu dari relawan dan hadirin non-relawan. Namun ada satu fokus inti semangat itu, pria berbaju putih dengan lengan kemeja yang selalu dilipat ini menjadi bahan bakar utama membakarnya semangat malam itu. Kala itulah, pertama kalinya saya melihat langsungorang yang selama lima tahun ini saya idolakan, tepat didepan mata saya. Apa yang saya rasakan? Bercampur, jantung saya senam tak henti dan satu dua tetesan air mata jatuh saat beliau membakar semangat kami dan semakin menimbulkan rasa kebanggaan saya atas beliau. Lebay? Yah, terserah Anda yang menilai. Setidaknya saya juga salah menilai, karena saya selalu berkata 'lebay' saat ada fans JKT48 atau boyband Korea yang histeris di TV. Saya akhirnya merasakan, bagaimana bertemu idola. Selesai acara, saat banyak yang sudah mendapatkan foto dan pulang, nah..... giliran saya sekarang, pak. Saya foto dengan orang yang saya idolakan, ibu saya lebih senang menyebut "Wah, dek, kamu foto sama calon Presiden!".
Balikpapan, 22 Februari 2014. Keyakinan saya kembali. Alasannya, orang-orang yang hadir semalam banyak yang tak bisa hadir karena bekerja dan sekolah. Alhasil, sekitar jam 9.00 kursi pendukung Anies Baswedan setengahnya diisi massa bayaran CaPres lain. Saya yakin mereka bayaran, karena ada seorang nenek tua hadir dengan kaos bergambar CaPres nya yang bertanya kepada orang disebelahnya dengan suara terdengar oleh saya "Ini yang kita dukung yang mana sih?". Datanglah kawan-kawan dari Samarinda yang meramaikan jumlah kami yang kecil. Jam 10an lewat, saat saya yang duduk didepan asyik mendengarkan paparan pak Anies menoleh kebelakang. Masya Alloh, lebih dari 3/4 kursi sepertinya terisi oleh relawan berbaju merah, meski jumlah kami tak se-spektakuler di kota lain, menggeser penonton bayaran berkaos putih tadi. Dan inilah puncaknya, sudah tentu semangat itu melebihi apa yang ada tadi malam, lebih dari itu saya menemukan harapan akan Indonesia lebih baik. Balikpapan memang panas, tapi tak mampu melelehkan semangat kami. Sampai sekarang bisa saya membayangkan tanggal 22 Februari itu, maka saya sontak merinding. Semanagat teman-teman masih membuntuti saya sampai hari ini. Bapak, ibu, hari ini anakmu bisa buat bangga kalian berdua. Karena hari ini anakmu dan puluhan relawan lainnya tidak diam, kami sedang mendukung orang baik menduduki posisi yang 5 tahun kedepan akan bertindak atas nama kita!.
Jakarta & Bogor, Maret 2014. Dua hari di dua kota ini kembali membakar semangat saya. Selang seminggu dari Konvensi di Balikpapan, belum habis padam semangat saya dan sekarang harus dibakar lagi dengan kekaguman saya kepada pak Anies dan relawan dari Aceh hingga Papua Barat. Malam itu di Soehanna Hall, gemetar saya mendengar Sulis menyanyikan lagu tentang harapan Indonesia, merinding saya menatap berdirinya calon pemimpin saya yang tegap dan mantap, terenyuh juga saya mendengar setiap kata yang keluar, dan tak mampu bergeming saat ratusan relawan bersorak atas beliau dan menularkan optimisme. Begitu pula di Bogor, semangat sorakan kami untuk Anies Baswedan lebih kencang terdengar daripada sekedar salah untuk bapak Presiden, yang harusnya menjadi sorotan utama. Disini setetes dua tetes jatuh, saat saya melihat seorang Anies Baswedan mengambil foto menggunakan Blackberry nya dari lantai dua ke arah relawannya yang saat itu sedang menyanyikan lagu kebangsaan. Yang membuat saya bergetar dan kagum bahwa saya melihat mata beliau berkaca melihat relawan NOL rupiahnya ini tak lelah mendukungnya, maka adakah pemimpin yang seperti ini? Rasanya hanya ada di zaman sekitar lebih dari 1400an tahun yang lalu. Tidur tak karuan, kegiatan tak berkesudahan, namun semangat dan tenaga tidak berkehabisan selama 2 hari yang 'fenomenal' ini. Terima kasih kawan relawan di seluruh Nusantara, terima kasih kakak-kakak di Ciasem yang sudah mengundang dan menampung malam terakhir kami, tak lupa terima kasih pada mereka yang sudi untuk membelikan tiket pesatat atau kereta kepada kami dari segala penjuru Indonesia.
Yogyakarta, April 2014. Menjadi titik terakhir perjalanan relawan dalam masa Konvensi ini, namum bukan titik terakhir dalam menggandakan optimisme di negri ini. Tak banyak yang bisa diceritakan. Sayapun harus membatasi jumlah kata dalam tulisan ini, bila diteruskan tanganpun tak akan lelah. Yang saya garis bawahi adalah, dimanapun pak Anies berada, semangat saya tak pernah luntur oleh lokasi dan tak lekang oleh waktu. Di puncak perjalanan konvensi bersama pak Anies saya rasakan di Kota ini, bahwa saya bertransformasi. Satria Piningit ini merubah pola fikir saya bahwa menjadi patis itu lebih baik daripada menjadi apatis. Dan cara merangkul orang apatis itu harus berbeda dengan orang yang memang menggiati dunia organisasi. Saya setidaknya mengerti pentingnya berorganisasi, tentu dalam skala-skala yang menurut saya tidak menyalahi idealisme saya, bahwa berorganisasilah dan menjadi agen perubahan yang nyata.
Sudah 7 bulan bagi saya mengawal beliau, belum ada satu video di Youtube-pun tentang beliau terlewatkan oleh saya. Selamat bergemuruh untuk kemenganan Indonesia. Semoga Tuhan merestui perjuangan kita. Namun harus diingat bahwa tujuan kita bukan hanya untuk memenangkan Konvensi. Menang atau kalah itu urusan Tuhan, yang pasti kita berusaha dan tetap berusaha setelahnya, karena apa yang kita lakukan hari ini bukan semata-mata untuk kursi kepresidenan. Lima tahun, bukan waktu yang sebentar bagi saya........
Anda, Dia, mereka dan saya pejuang, bukan? Kalau iya, HADAPI.