Pak Anies, ini cerita saya tentangmu...

Tulisan kali ini saya dedikasikan untuk seorang inspirator dalam hidup saya selain bapak dan ibu saya. Orang ini menginspirasi saya bukan tentang bagaimana untuk bertahan hidup dan sukses, namun menginspirasi saya untuk optimis dan bersikap politis. Kepada bapak yang saya tulis namanya dengan sebagian cinta saya, segerakan melunasi janji kemerdekaan! "Saya tidak mau bilang 'I love you full', saya bilang 'I love you almost full'. Karena saya mau memberikan ruang untuk cinta agar tumbuh."


Lima tahun sudah saya mengidolakan beliau yang namanya disanjung para pemuda dan digaungkan oleh mereka yang sudah berusia. Anies Rasyid Baswedan, akhirnya saya bisa bercengkrama dan berjabat tangan denganmu, pak. Lima tahun menunggu kesempatan emas ini tak sebentar. Kenapa lima tahun? Izinkan saya sedikit flash back kemasa dimana saya pertama kali kagum dengan beliau. Saat itu tahun 2009, masih sempurna diingatan saya tentang Anies Baswedan yang menjadi moderator di acara debat CaPres 2009 itu. Kagum saya tidak dimulai setelahnya, namun sesaat acara CaPres itu dimulai. Kilasan biografi Anies Baswedan saat itu sungguh menggugah batasan skeptisme saya tentang orang Indonesia yang 'biasa saja'. Menjadi Rektor termuda, terdengar asing di telinga saya. Pada umur yang muda dan secara fisik saya melihatnya tampan, gagah, tinggi dan tegap, menjadikan ini hal awal kekaguman saya pada beliau. Membandingkan dengan kepala sekolah SD sampai SMA saya saja, selisih umurnya jauh. Ini Rektor, bung!. Hal kemudian mengenai keberadaannya menjadi 100 intelektual publik dunia versi majalah Foreign Policy. Saya tak perduli dengan majalah yang saya baru dengar saat itu, apalagi berita yang berkata beliau bersanding dengan tokoh dunia semacam Noam Chomsky, Amartya Sen dan Al Gore; tak kenal saya dengan mereka, meski kemudian saat kuliah saya tahu siapa mereka dan betapa hebatnya orang yang disandingkan dengan mereka. Tetapi mendengan berita menjadi '100 intelektual dunia' itu rasanya luar biasa, ini orang Indonesia?

Saat itu saya masih kelas 2 SMA, tentu masih anti-pati pada proses politik dan sebagainya. Beranjak ke kelas 3 SMA, mulai banyak informasi yang saya dapat mengenai Anies Baswedan. Ini terjadi hanya karena beliau menjadi moderator CaPres kemudian saya 'menghamba' padanya. Diujung perjalanan sekolah, saya harus menentukan arah ke mana saya melangkah berikutnya. Dilandasi hanya karena ingin bertemu sosok Anies Baswedan (dan tentunya beasiswa penuh), saya mencoba 'melamar' di Universitas Paramadina jurusan Hubungan Internasional melalui Paramadina Fellowship. Saya ingat betul saat itu saya menulis sekitar ratusan atau ribuan kata tentang 'Mahasiswa sebagai Agen Perubahan'. Saya tulis itu dengan tangan kemudian mengirimkannya. Alhasil, Alhamdulillah saya gagal masuk. Harus disyukuri, karena bukan jalan saya disana. Bila saya diterima disana, mungkin saya tak merasakan indahnya Yogyakarta.

Menjajaki dunia kuliah, masa inilah yang mendekatkan saya pada sosok Anies Baswedan melalui media dan google. Semakin banyak berita tentangnya, semakin ingin saya bertemu dengannya. Sempat saya mengikuti satu organisasi kampus yang iklannya menjanjikan mendatangkan Anies Baswedan, setelah diterima, ternyata pak Anies hanya memberi recorded speech. Kecewa? Jelas. Saat itu (tahun 2012) santer berita mengenai pemilu 2014, mengenai Aburizal Bakrie, Megawati, Wiranto dan golongan senja lainnya. Terbesit pemikiran tentang Indonesia 2015, 2016, 2019... Bagaimana rupa negara ini dibawah kepemimpinan satu dari aktor yang namanya tak indah di taruh di buku-buku sejarah? Tidak ada yang membicarakan capres selain mereka anggota golongan senja. Sampai suatu saat Mata Najwa mengundang Anies Baswedan dan Mahfud MD dengan tema Kuda Hitam. Ada harapan karena mereka terlihat integritasnya, namu ada kekecawaan karena saat itu mereka urung untuk maju di 2014.

Melbourne, September 2013. Menjadi awal perjalanan serius politik saya. Disana saya mendaftarkan menjadi seorang relawan yang saya yakin jumlahnya masih ratusan. Mendaftarkan diri dengan domisili di Balikpapan, harapannya, sekembalinya saya dari program ini saya memiliki liburan yang lama di kota kelahiran saya dan bisa melakukankegiatan ini di sana. Namanya Turun Tangan, akar katanya: Urun Angan. Kami menambahkan 'T' sebagai negasinya. Di website itu pak Anies mengajak saya untuk ikut menuntaskan masalah negri ini. Jujur saja, saya dulunya tak tahu apa itu Turun Tangan. Yang saya lakukan murni mendukung beliau dan mengikuti jejak langkah kebaikan beliau untuk Indonesia melalui registrasi di situs relawan itu. Namun kebelakang, saya sadar bahwa mendukung beliau saja tak cukup, harus ada perbuatan baik yang bersifat masif untuk merubah wajah Indonesia hari ini. Karena masalah sebesar Indonesia, tak bisa hanya diselesaikan oleh satu pemimpin.

Balikpapan, Januari 2014. Petualangan saya untuk Turun Tangan dimulai dikota kelahiran saya ini. Mengumpulkan relawan di Balikpapan itu sulit, sangat sulit. Dugaan saya adalah pola fikir masyarakat disana bukanlah politis, melainkan realistis berbasis kapitalisme. Sederhananya, orang lebih memilih untuk berfikir bagaimana bekerja dengan baik daripada harus berfikir tentang siapa presiden saya nanti. Ini terjadi karena Balikpapan memang menjadi sentra kegiatan ekonomi di Kalimantan Timur, bahkan di pulau Kalimantan. Menakjubkan bukan kota saya, bukan hanya sekedar hutan seperti apa yang orang luar terka selama ini. 

Balikpapan, Februari 2014. Singkat cerita, kami di Balikpapan berhasil bertemu untuk pertama kalinya. Takjub, karena ramai sekali. Kurang dari 20 relawan hadir, sedikit? Bagi saya itu mengagetkan, karena memang yang saya fikirkan untuk datang tak sebanyak itu. Terima kasih kawan relawan. Belum ada obrolan mengenai kegiatan, yang ada hanya optimisme dari kawan-kawan mengenai Turun Tangan dan perdebatan apakah ini organisasi sosial atau politik. Sampai akhirnya, seorang relawan bercerita tentang sejarah Turun Tangan ini. Kala itu hanya saya yang bersikap pesimis tentang pemenangan pak Anies. Kenapa? Sederhana, tetapi tak layak saya ceritakan. Namun kebelakang, justru sikap itu berubah. Bahwa gerbang pemenangan itu nyata adanya! Entah itu pertemuan kedua atau ketiga kami, pada bulan Februari pertengahan itu kami berkumpul untuk membahas tentang konvensi yang akan mampir ke Balikpapan. Saya pribadi, ada rasa bangga dan bahagia namun ada juga rasa pesimis mengenai bagaimana memanggil relawan gratisan ini untuk hadir di Konvensi. 

Balikpapan, 21 Februari 2014. Malam itu ada acara temu relawan, yang saya fikir tidak akan ramai. Untung bila mencapai 70an orang. Masya Alloh, saya salah. Saya bisa yakinkan, yang hadir lebih dari 100 orang. Karena jatah makanan untuk 100 orang ternyata kurang, itulah tolak ukur saya :D. Belasan surel yang saya sebar ke seluruh relawan bekerja sempurna pada malam itu, hanya malam itu dan besoknya. Dari malam itu saya merubah pesimisme saya menjadi optimisme. Bahwa kemenangan itu nyata dan pesimisme itu kutukan pada diri sendiri. Terlalu banyak semangat yang hadir malam itu dari relawan dan hadirin non-relawan. Namun ada satu fokus inti semangat itu, pria berbaju putih dengan lengan kemeja yang selalu dilipat ini menjadi bahan bakar utama membakarnya semangat malam itu. Kala itulah, pertama kalinya saya melihat langsungorang yang selama lima tahun ini saya idolakan, tepat didepan mata saya. Apa yang saya rasakan? Bercampur, jantung saya senam tak henti dan satu dua tetesan air mata jatuh saat beliau membakar semangat kami dan semakin menimbulkan rasa kebanggaan saya atas beliau. Lebay? Yah, terserah Anda yang menilai. Setidaknya saya juga salah menilai, karena saya selalu berkata 'lebay' saat ada fans JKT48 atau boyband Korea yang histeris di TV. Saya akhirnya merasakan, bagaimana bertemu idola. Selesai acara, saat banyak yang sudah mendapatkan foto dan pulang, nah..... giliran saya sekarang, pak. Saya foto dengan orang yang saya idolakan, ibu saya lebih senang menyebut "Wah, dek, kamu foto sama calon Presiden!".

Balikpapan, 22 Februari 2014. Keyakinan saya kembali. Alasannya, orang-orang yang hadir semalam banyak yang tak bisa hadir karena bekerja dan sekolah. Alhasil, sekitar jam 9.00 kursi pendukung Anies Baswedan setengahnya diisi massa bayaran CaPres lain. Saya yakin mereka bayaran, karena ada seorang nenek tua hadir dengan kaos bergambar CaPres nya yang bertanya kepada orang disebelahnya dengan suara terdengar oleh saya "Ini yang kita dukung yang mana sih?". Datanglah kawan-kawan dari Samarinda yang meramaikan jumlah kami yang kecil. Jam 10an lewat, saat saya yang duduk didepan asyik mendengarkan paparan pak Anies menoleh kebelakang. Masya Alloh, lebih dari 3/4 kursi sepertinya terisi oleh relawan berbaju merah, meski jumlah kami tak se-spektakuler di kota lain,  menggeser penonton bayaran berkaos putih tadi. Dan inilah puncaknya, sudah tentu semangat itu melebihi apa yang ada tadi malam, lebih dari itu saya menemukan harapan akan Indonesia lebih baik. Balikpapan memang panas, tapi tak mampu melelehkan semangat kami. Sampai sekarang bisa saya membayangkan tanggal 22 Februari itu, maka saya sontak merinding. Semanagat teman-teman masih membuntuti saya sampai hari ini. Bapak, ibu, hari ini anakmu bisa buat bangga kalian berdua. Karena hari ini anakmu dan puluhan relawan lainnya tidak diam, kami sedang mendukung orang baik menduduki posisi yang 5 tahun kedepan akan bertindak atas nama kita!.

Jakarta & Bogor, Maret 2014. Dua hari di dua kota ini kembali membakar semangat saya. Selang seminggu dari Konvensi di Balikpapan, belum habis padam semangat saya dan sekarang harus dibakar lagi dengan kekaguman saya kepada pak Anies dan relawan dari Aceh hingga Papua Barat. Malam itu di Soehanna Hall, gemetar saya mendengar Sulis menyanyikan lagu tentang harapan Indonesia, merinding saya menatap berdirinya calon pemimpin saya yang tegap dan mantap, terenyuh juga saya mendengar setiap kata yang keluar, dan tak mampu bergeming saat ratusan relawan bersorak atas beliau dan menularkan optimisme. Begitu pula di Bogor, semangat sorakan kami untuk Anies Baswedan lebih kencang terdengar daripada sekedar salah untuk bapak Presiden, yang harusnya menjadi sorotan utama. Disini setetes dua tetes jatuh, saat saya melihat seorang Anies Baswedan mengambil foto menggunakan Blackberry nya dari lantai dua ke arah relawannya yang saat itu sedang menyanyikan lagu kebangsaan. Yang membuat saya bergetar dan kagum bahwa saya melihat mata beliau berkaca melihat relawan NOL rupiahnya ini tak lelah mendukungnya, maka adakah pemimpin yang seperti ini? Rasanya hanya ada di zaman sekitar lebih dari 1400an tahun yang lalu. Tidur tak karuan, kegiatan tak berkesudahan, namun semangat dan tenaga tidak berkehabisan selama 2 hari yang 'fenomenal' ini. Terima kasih kawan relawan di seluruh Nusantara, terima kasih kakak-kakak di Ciasem yang sudah mengundang dan menampung malam terakhir kami, tak lupa terima kasih pada mereka yang sudi untuk membelikan tiket pesatat atau kereta kepada kami dari segala penjuru Indonesia.

Yogyakarta, April 2014. Menjadi titik terakhir perjalanan relawan dalam masa Konvensi ini, namum bukan titik terakhir dalam menggandakan optimisme di negri ini. Tak banyak yang bisa diceritakan. Sayapun harus membatasi jumlah kata dalam tulisan ini, bila diteruskan tanganpun tak akan lelah. Yang saya garis bawahi adalah, dimanapun pak Anies berada, semangat saya tak pernah luntur oleh lokasi dan tak lekang oleh waktu. Di puncak perjalanan konvensi bersama pak Anies saya rasakan di Kota ini, bahwa saya bertransformasi. Satria Piningit ini merubah pola fikir saya bahwa menjadi patis itu lebih baik daripada menjadi apatis. Dan cara merangkul orang apatis itu harus berbeda dengan orang yang memang menggiati dunia organisasi. Saya setidaknya mengerti pentingnya berorganisasi, tentu dalam skala-skala yang menurut saya tidak menyalahi idealisme saya, bahwa berorganisasilah dan menjadi agen perubahan yang nyata.

Sudah 7 bulan bagi saya mengawal beliau, belum ada satu video di Youtube-pun tentang beliau terlewatkan oleh saya. Selamat bergemuruh untuk kemenganan Indonesia. Semoga Tuhan merestui perjuangan kita. Namun harus diingat bahwa tujuan kita bukan hanya untuk memenangkan Konvensi. Menang atau kalah itu urusan Tuhan, yang pasti kita berusaha dan tetap berusaha setelahnya, karena apa yang kita lakukan hari ini bukan semata-mata untuk kursi kepresidenan. Lima tahun, bukan waktu yang sebentar bagi saya........

Anda, Dia, mereka dan saya pejuang, bukan? Kalau iya, HADAPI.

Trias Koruptika..?

Sudah terlampau lama dan agak 'basi' untuk membahas suap Hakim MK, Akil Mochtar. Dengan alasan ingin menulis opini tentang ini, maka saya baru sempat menulis ini di sela tugas yang lumayan menumpuk. Semoga tulisan ini berguna secukupnya dan seluruhnya murni opini (di luar fakta yang ada terjadi).

Saya tidak sedang di Indonesia saat mendengar kabar naas ini. Berita inipun pertama kali saya dapatkan saat sedang melihat timeline twitter kemudian muncul berita dari sebuah akun media tentang tertangkapnya Ketua MK semalam sebelumya. Kaget, jelaslah. Tanggapan awalnya adalah 'bagaimana bisa ketua lembaga yang bisa jadi paling di percaya dan dihormati di Indonesia terperangkap dalam kasus korupsi?', parahnya lagi, 'tertangkap tangan'. Malang nian nasib bapak. Diluar itu, kemudian keluarlah sebuah pemikiran bawha semua lembaga sudah hancur. Malaikat penjaga konstitusi dan keadilan sudah mati, dicabut nyawanya oleh malaikat yang paling ditakuti di negri ini. Tiga pilar utama negara yang Montesquieu utarakan sekarang telah tiada di Indonesia, korupsi yang menjajali eksekutif, legislatif sampai yudikatif secara teori sudah merubuhkan tiang-tiang negara, masih adakah harapan? Kita punya kapasitas dan persepsi masing-masing dalam mentafsirkan harapan itu.

Di lain sisi, ada hal yang patut disoroti lebih jauh dari pada kasus korupsi di MK ini. Meski kenyataannya MK lembaga yang dinilai paling bersih dan dipercaya (mungkin sejajar atau setelah KPK), MK sekarang bisa jadi krisis kepercayaan dari masyarakat terutama dalam hal putusan sengketa Pemilu yang bersifat final. Gemuruh suara penggugat dan golongan yang kalah mencuat menaruh curiga. Sedih, melihat lembaga yang dibangun dengan kepercayaan dan integritas tinggi oleh dua orang profesor Tata Negara, Jimly Asshidiqie dna Mahfud MD, ini sekarang sudah tinggal 'nama'. Lebih sedih lagi melihat kedua mantan ketua lembaga yang agung ini justru saling tunjuk tentang siapa yang turut bertanggung jawab dalam kasus ini di media sosial. Matinya MK ini menyurutkan semangat anak bangsa ini untuk menegakkan keadilan, tapi dilain sisi juga memicu harapan untuk membersihkan korupsi sampai ke titik yang paling 'bersih' sekalipun. Nyatanya, KPK mampu membersihkan MK yang suci itu, sang malaikat penjaga konstitusi.

Ini yang pertama bagi MK tersorot kasus korupsi, dan yang pertama pula bagi bangsa yang sudah merdeka 68 tahun ini Ketua lembaga tinggi negaranya melakukan tindakan korupsi (meski belum terbukti bersalah). Akil Mochtar membuka buku sejarah baru sebagai Ketua lembaga tinggi negara yang tersandung kasus korupsi, apakah Akil Mochtar adalah bagian dari halaman satu? Maka siapa halaman dua-tiga dan seterusnya? Kejadian yang membuat double-shock bagi saya, sudah jatuh tertimpa beton.

Bukan maksud menduga-duga, tetapi ada opini baru yang masih hangat di telinga mengenai eksistensi Bunda Putri. Pada sebuah sidang terbuka namanya didengungkan dan dikaitkan dengan pemimpin nomer satu di negri ini. Tandas sang pemimpin sih akan membuka identitas sang Bunda, tetapi semakin kesini sepertinya sang pemimpin hanya diam dan mengikhlaskan dirinya difitnah, atau mungkin sebaliknya. Maka dari titik yang sama, Akil Mochtar sudah suskes melalukan 'gebrakan' baru di dunia per-korupsi-an dan membuat buku sejarah edisi baru. Akankah halaman dua buku itu terisi dengan  nama ketua atau pemimpin baru? Kalau iya, maka sungguh dari tiang yang sudah hancur, dinding negara ini juga akan hancur. Dan reformasi hanya menghasilkan derita. Semoga LHI hanya bercerita palsu dan sang Bunda Putri hanyalah teman fantasi yang tak pernah ada, karena saya sangat takut untuk membayangkan kesaksian LHI ini benar terjadi. Selamat jalan Trias Politika..... Namamu akan tetap kami kenang dalam buku-buku di perguruan tinggi...

Demokrasi Munafik...! (?)

Tulisan ini menggambarkan riuh-pikuk pikiran saya terhadap kalimat penutup dalam ILC TVOne hari ini. Sengit, pedas, dan tajam. Kritis keras ke demokrasi. Pernyataan dari seorang Pemimpin Pakistan kalau saya tidak salah ingat "Demokrasi tak ayal sebuah kemunafikan" dilanjutkan dengan firman Mohandes Gandhi menyebut  "Korupsi dan kemunafikan tidak seharusnya menjadi produk yang tak terelakkan dari demokrasi". Penyesalan Gandhi itu menjadi simbol bahwa korupsi dan kemunafikan itulah hasil dari pada persetubuhan demokrasi di suatu bangsa.


Bahaya korupsi memang sudah laten di negeri ini. Tapi bukan demokrasi asbab musabab nya. Saya tidak begitu yakin kalau demokrasi yang melahirkan telur korupsi dan kemunafikan. Melainkan transparansi yang menguak semuanya dan menajdikan ini seolah-olah besar. Bukanlah demokrasi yang membuat korupsi semakin menjadi-jadi.

Terlintas di kepala saya istilah dari seorang politisi di Inggris, bernama Lord Acton dalam suratnya kepada seorang Uskup bernama Mandell Creighton. beliau berpesan, "democracy tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely". Jelas dan gamblang, pernyataan masyhur ini menyiratkan bahwa demokrasi memiliki tendensi untuk korupsi, tetapi kekuasaan mutlak berkorupsi secara mutlak. Maka melangkah maju sedikit, benar adanya demokrasi masih menghasilkan korupsi, tetapi tidak semasif otoriter. Meski kesannya kurang baik untuk membandingkan apple-to-apple seperti ini. Karena esensinya sama buruk, meski lebih sedikit.

Nah demokrasi dalam perihal ini menjadi sebuah tatanan baru untuk memberikan informasi dan transparansi pemerintahan. Maka tidak aneh kalau korupsi terkesan semakin 'membanjiri' dunia politik semenjak demokrasi berjalan. Demokrasi itu adalah manusia tanpa pakaian, telanjang bulat dan memberikan fasilitas kepada orang lain untuk melihat setiap jengkal 'luka' di tubuh Anda. Sebaliknya, dengan baju otoriter, Anda akan tertutup dari aib transparansi, tetapi tahukan Anda, saat Anda pergi untuk mandi, Anda baru mengetahui bahwa 'borok' Anda sudah dimana-mana. Rasanya kata demokrasi munafik kurang tepat untung disandingkan disini.

Itulah hasil transparansi, semua terlihat meski terkesan banyak. Tetapi otoriter menyembunyikan lebih banyak kedustaan dan kehinaan. Kalau yang transparan saja begini, lantas absolute power ?. Kesannya pun terbentuk stigma di negri ini kalau korupsi setelah reformasi sudah membabi buta, Qur'an pun tak segan di amini korupsinya. Tapi tidak ada yang tahu, seberapa besar korupsi kita di masa lampau, disaat otoriter berkuasa. Jangankan korupsi, kolusi dan nepotisme pun dihalalkan perjalanannya. Kalau membandingkan angka jelas besar sekarang, inflasi pun naik, bung. Tapi membandingkan tingkan ke-masifan daripada kelatenan korupsi itulah yang harus diperhatikan. Bisakah membayangkannya? Kuantitasnya bisa kecil, tapi kualitasnya super.

Mengedepankan objektifitas, tidak saya sanggah, bahkan saya amini pernyataan tentang demokrasi memproduksi telur-telur busuk. Inilah dunia, tidak ada sistem yang sempurna. Tapi ada yng lebih baik. Secara harfiahnya saja demokrasi mengajarkan A-Z, prinsip dan nilainya sangat luhur. Bila ada negara yng berhasil mengamalkannya, lantas presidennya adalah 'titisan' Tuhan. Tetapi kan nyatanya kemunafikan dan korupsi masih ada di demokrasi. Teori berbeda dengan kenyataan. Normativis dengan realis nya. Itu tidak bisa dipungkiri. Tapi itulah hasil demokrasi, terlihat penyakit mu. Tidak bisa menyalahkan demokrasi juga, karena ini terbentur kepentingan lapangan. Setuju bila demokrasi melahirkan kemunafikan dan korupsi, tetapi saya membela bahwa absolute power atau otoriter dan saudara-saudaranya tidak hanya melahirkan kemunafikan dan korupsi, melainkan  kesengsaraan dan kedustaan yang sangat teramat besar, hanya saja baju yang dikenakan terlalu bagus untuk menutupinya.


KPK atau POLRI?: Simulator Karam di Dua Aktor

Tulisan ini saya tujukan hanya untuk pembacaan yang santai dan bukan tinjauan akademik. Tujuannya satu, menyadarkan akan indahnya politik bagi semua ummat.

Saya tidak akan membahas banyak mengenai hal-hal yang sifatnya teknis karena sangat teramat bisa untuk d perdebatkan secara ilmuah. Disini saya hanya ingin menyajikan opini konstruktif agar pembaca mampu memaknai objektifitas dan berhilir pada kesadaran politik. Bukan bermaksud untuk menekan suatu pihak atau mendukung lainnya.

Berangkat dari kasus 'Simsalabim Simulator SIM' yang ditangani KPK, sangat menarik untuk mengulas pembahasan secara opini konstruktif bukan kajian ilmiah. Bukan untuk menggiring opini publik, tetapi lebih kepada bagaimana publik mengetahui perihal objektifitas demi terciptanya opini yang sehat dan berimbang. Meskipun teori objektifitas tidak mungkin 100%.

Siapa yang seharusnya menangani kasus simulator SIM? Terlepas perdebatan teknis yang sifatnya yuridis, ada beberapa hal yang harusnya menjadi perhatian kita menganai penanganan ini. Diluar konteks siapa yang berhak, dalam beberapa diskusi di media sepertinya kedua belah pihak memiliki pondasi argumen sendiri menganai legalitas mereka dalam menangangi kasus ini (konteks hukum dan UU). Hanya ingin menggaris besarkan pada konteks keberimbangan saja, saya akan berangkat menulis ini dengan menghalalkan kedua pihak untuk menangani kasus yang sama (tentunya bukan perdebatan hukum).

Ditinjau dari segi KPK, pantaslah seharusnya KPK yang menangangi kasus ini. Sepertinya, satu-satunya lembaga yang mampu memberantas korupsi yang di percayai oleh masyarakat Indonesia. Pantas juga KPK yang memegang kasus ini (terlepas hanya beberapa TSK atau secara keseluruhan). Salah seorang jendral yang disinyalir menjadi salah satu tokoh di balik kasus ini datang dari institutsi kepolisian. Lantas terasa agak aneh bahkan kurang meyakinkan bila POLRI yang menangangi kasus ini. Terbukti, penyelidikan POLRI tidak memuat nama jendral yang diusung oleh KPK. Entah mengapa. Yang jelas rasanya kurang 'sreg' kalau POLRI yang menangani. Perihal analoginya, ini bagaikan mencabut duri di daging sendiri, 'ngeri-ngeri sedap' istilah nya meminjam dari bung Sutan.

Adakah dokter gigi yang berhasil mencabut giginya sendiri? Rasanya tidak ada. Maka beginilah, KPK yang seharusnya menangangi, mencabut gigi yang rongkang dalam tubuh kepolisian. Atau adakah orang tua yang berhasil memukul, menmpar, menghukum, bahkan merajam tangan anaknya sendiri yang terbukti ketahuan mencuri hak dari orang lain? Saya rasa tidak ada yang berani kecuali Rasulullah. Maka butuh orang lain untuk melakukannya. Bisa saja bernyataan normatif muncul, "akan di hukum seadil-adilnya meski anggota sendiri", tapi rasanya kurang yakin. Mengapa? Karena dari awal saja sang Jendral tidak ada dalam daftar nama di POLRI, melainkan KPK yang menemukannya dalam semak belukar. Tak tega rasanya orang tua untuk menampar anak sendiri, kecuali menyerahkan anak itu ke bibi atau pamannya untuk dimintai hukuman.

Kemudian, berangkat dari ucapan sang Jendral utama Timur Pradopo, mengamini perihal POLRI selalu dan setia membantu KPK dalam menangai korupsi denganc ara memberikan kader terbaik di KPK. Lantas pertanyaan saya adalah, apakah yang di POLRI sendiri bukan yang terbaik, atau malah hanya 'baik' dan biasa saja? Dari penafsiran opini ini, dugaan saya, pantaslah POLRI selayaknya memberikan kasus ini ke KPK, karena dengan lebih banyak personil di banding KPK, POLRI belum mampu menuntaskan korupsi dalam tubuhnya sendiri. Karena kader 'terbaik' mereka ada di KPK, maka demi menghindari kejadian di kemudian hari, biarkan kader terbaikmu yang menyelesaikan, bukankah itu juga anggotamu? Janganlah berebut kekuasaan demi kenikmatan fana, bukankah KPK juga saudaramu?


Mengapa POLRI? Pertanyaam penyeimbang tulisan diatas, adalah mengapa harus POLRI? Tinjauan saya mengapa harusnya POLRI yang menangani kasus ini saya titik beratkan pada mage building atau pencitraan. Sungguh citra polisi saat ini agak terkesan kurang baik dihadapan rakyat Indonesia. Maka dirasa inilah momentum yang sangat tepat untuk membersihkan dan mengembalikan martabat kepolisian kepada fitrahnya. Menunjukkan prestasi polisi bukan hanya pada penghapusan terorisme, tapi juga pada kasus korupsi.

Tak ingatkah kita mengenai KPK. Bukankah ini lembaga ad hoc? Suatu hari, KPK akan sirna dari bumi Indonesia, lantas siapakah yang akan menggaruk koruptor nanti? Tumpuan kuat berada di tangan POLRI. Maka momen ini menjadi tepat untuk mengembalikan citra POLRI sebagai institusi penegak hukum yang tak pandang bulu memberantas korupsi, sekalipun anggotanya. Bila memang ternyata sama dengan KPK (termasuk TSK nya, mencidunk sang Jendral) maka pantaslah POLRI melanjutkan perkara ini. Bila ternyata 'sukses' setelah perkara ini, kemudia kepercayaan publik akan kembali dan citra garda Bhayangkara ini pun semakin membaik. Dan suatu saat, disaat KPK sudah tiada, POLRI akan sanggup dengan tangan sendiri 'menyikut' koruptor termasuk anggotanya, tanpa pandang bulu.

Jauh dari pada itu, biarkan KPK memberi kesempatan untuk POLRI membuktikan dirinya sedang berbenah dan biarkanlah polisi mengembalikan citranya kepada yang hakiki. Urusan KPK masih banyak dan setumpuk. KPK juga jangan seolah-olah mencari kesalahan atau ingin mengambil tongkat kekuasaan dalam tindak pidana korupsi. Janganlah sesumbar untuk menangani semua kasus korupsi di negri ini. Sesama saudara harus bagi tugas. Ada kasus besar sebesar Century, Hambalang, dan lainnya untuk dituntaskan ditangan KPK, pembasmi korupsi nomer wahid. Kasus besar itu butuh perhatian maksimal Anda. Meski kasus Simulator ini tergolong besar juga, tetapi terkesan lebih besar Century atau Hambalang, karena POLRIpun tak mengusut kasus ini. Tandanya, kader KPK, yang notabenenya terbaik dari POLRI dan Kejaksaan, merupakan orang-orang hebat yang bisa menemukan kasus besar seperti Century dan lainnya yang tidak bisa ditemukan POLRI. Biarlah ini menjadi momen POLRI untuk menunjukkan etika baik kepada seluruh rakyat RI. Dan KPK, tetaplah bekerja maksimal, fokuskan dirimu pada apa yang belum terpecahkan, anggotamu tak banyak, 700 itu sedikit, kemampuanmu terbatas. Gunakan sebaik mungkin pada focal point yang tepat, selesaikan satu-persatu, jangan hanya menggantung.

Menguak "Margin Error" di PilGub DKI

Ada kesan asing di pengetahuan saya tentang himpunan kata Margin of Error. Intinya hasil temua saya merujuk pada rentan kesalahan yang bersifat random pada sampling dalm hasil sebuah survey. Kemudian menarik untuk dibahas saat beberapa (tidak perlu disebutkan) lembaga survey di Indonesia mengungkapkan angka tafsiran ilmiah untuk pemengangan PilGub DKI 2012. Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli diramalkan akan menjadi pemenang dalam kontes politik PilGub DKI 2012 ini. Tidak maksud tulisan ini untuk membahas metode riset dan survey nya, atau menyangkal hasil surveynya, terlebih untuk menyudutkan. Tulisan ini hanya bermaksud untuk menganalisa mengapa hasil survey dengan Quick Count berbeda?


Ada beberapa faktor yang bisa jadi mematahkan ramalan dari lembaga survey itu. Mungkin saja, satu hal yang fundamental, lembaga survey lupa akan masyarakay miskin. Dari beberapa lembaga survey, mereka kebanyakan menggunakan metode telefon untuk menjaring responden. Mulai dari 200, 450, hingga berapa ratus responden. Margin of error yang dideklarasikanpun berbeda, ada yang kirasan 4% bahkan ada yang haqqul yaqiin hingga 2%. Dari banyak lembaga survey menunjuk FOKE-NARA sebagai bakal pemenang dalam kontes 5 tahunan ini.


Mari kita merujuk pada faktor yang membuat mereka 'terpeleset' dalam menafsirkan bakal pemenang PilGub ini. Pertama, di DKI sendiri ada sekitar 350.000 lebih masyarakat yang dikategorikan sebagai orang miskin (BPS DKI Jakarta), dengan penghasilan kurang dari Rp.400.000 per bulannya. sedangkan respondennya hanya 450. Korelasi yang akan saya hantarkan adalah, mereka 450 yang dimintai opininya merupakan orang mampu atau  berduit di Jakarta. Titik ini saya landaskan kepada kemampuan mereka untuk membeli telefon beserta pulsanya. Intinya adalah, bisa jadi absensi orang miskin ini merupakan nilai tambah (meski tidak mutlak bisa memenangkan Jokowi-Ahok) kepada Jokowi-Ahok. Terlebih membaca strategi politik Jokowi yang luar biasa, cenderung terjun on the field menuju rakyat yang "dipinggirkan" dan lebih bisa memikat hati rakyat Jakarta melalui terobosan politiknya (makan di jalanan, naik metro mini, dll). Faktor X ini yang merupakan booster bagi Jokowi untuk melakukan akselerasi politiknya dalam kampanye PilGub DKI, meski tidak di tampikkan juga aksi politiknya di Solo sangat berpengaruh. langkah strategik ini yang mendorong Jokowi-Ahok untuk dipilih kebanyakan kalangan menengah kebawah, bisa jadi juga menengah ke atas, terlebih suatu lembaga sudah mendeklarasikan bahwa 100% warga Tionghoa Jakarta memilih Jokowi-Ahok. Hal ini yang lupa di baca oleh banyak lembaga survey, merespon kalangan bawah dan etnis berbeda (meski mereka bisa juga melakukan interaksi ke banyak grup/plural).


Faktor Y yang kemudian timbul adalah strategi survey untuk pemengangan. Suatu lembaga survey di Indonesia mengakui salah satu kandidat mensponsori survey itu. Disisi lain, wajar bila ada win solution yang dihadirkan oleh lembaga ini demi memenangkan si sponsor, karena jelas lembaga ini adalah konsultan politik. Maka sinyal yang timbul adalah pemenangan Foke-Nara dalam survey merupakan strategi politik yang jitu. Dalam memetakan politik ini, sang lembaga menyiarkan bakal pemenang PilGub ini, yaitu Foke-Nara. Mengimplikasikan strategi agar pembentukan opini bahwa Foke-Nara akan menang dan voters pada pilihan lain akan berfikir bahwa pilihannya akan kalah, dan lebih baik golput atau pilih Foke-Nara. Penanaman stigma ini tidak disadari, tetapi perlahan membentuk opini. Entah mengapa agak gagal, karena pemenangnya adalah Jokowi-Ahok (merujuk Quick Count).


Analisa faktor lain, bisa jadi sang surveyor tanpa sengaja melakukan interview terhadap kebanyakan pendukung Foke-Nara. dengan responden 450, sepertinya, seobjektif apapun survey itu, tidak akan efektif bila dibandingkan jumlah total penduduk DKI Jakarta, kata kurang terwakili mungkin lebih pas untuk menggambarkanya. Mungkin setidaknya setengah atau 51% rakyat Jakarta di survey, baru nyata hasilnya. Hehehee...


Mungkin kata 'takabur' yang tepat untuk mendeskripsikan kegagalan ini. Dengan margin error yang kecil, para penggelar survey sepertinya yakin Foke-Nara yang akan menguasai DKI untuk kedua kalinya. Ternyata suara Tuhan berbeda, Tuhan menyambung lidah-Nya melalui rakyat DKI untuk memilih Jokowi-Ahok. Dan pertanyaan berikutnya, mungkinkah incumbent akan kalah? Politik 2 periode tidak akan terjadi di DKI? Dan akankah segala survey kehilangan penganutnya? Ini saat survey tidak lagi menjadi 'prakiraan cuaca' dalam ranah politik. Lantas margin of error itu sepertinya benar-benar menjadi fatal error dalam menentukan hasil survey.


Di ujung tulisan ini, saya hanya mengingatkan kalau tulisan ini hanya bersifat opini. Analisa didalamnya tentu saja bisa diperdebatkan. Tidak ada unsur untuk menyudutkan siapapun. Saya berusaha objektif untuk menganalisa mengapa survey salah sasaran menunjuk bakal pemenang PilGub DKI. Berusaha objektif meski tidak bisa 100%.